Suku Sungkai

Suku Sungkai lengkapnya Suku Bunga Mayang Sungkay. Kata Bunga Mayang merupakan Nama Marga yang telah digunakan dari tempat asalnya di Way Komering. Sementara kata Sungkay adalah Nama Sungai (way) dimana ninik-puyang Suku Sungkay mengakhiri migrasi melalui jalan air dan mulai naik kedaratan. Sehingga pendefinisian lengkap dari Suku Sungkai adalah masyarakat Bunga Mayang asal Suku Bangsa LampungKomering (Sumatera Selatan) yang bermigrasi dan mendirikan peradaban baru ditepian sungai Sungkay (Lampung).

Asal-usul Suku Sungkai

Migrasi dari Komering

Masyarakat Suku Sungkai merupakan masyarakat migrasi besar dari Way Komering menuju Way Sungkay. Migrasi terjadi diakibatkan oleh keadaan alamiah Way Komering yang seringkali meluap dan menyebabkan banjir ke pemukiman dan perkebunan penduduk. Meski Way Komering merupakan bagian dari jalur perdagangan kuno Sriwijaya yang sangat sering disinggahi para pedagang dari berbagai negeri jiran. Tapi tradisi berkebun ninik-puyang Suku Bangsa /Ulun Sungkay tak lagi mencukupi, sehingga terdesak untuk segera mencari tempat untuk membuka perladangan baru. Hingga memasuki era modern sekarang ini, Way Komering masih sering meluap dan mengakibatkan banjir di Ogan Komering Ulu. Sementara tiyuh Bunga Mayang Komering asal-muasal dari Suku Bangsa/Ulun Sungkay masih berdiri di Sumatera Selatan.

Berakhir di Way Sungkay

Saat mengakhiri perjalanan migrasi dan memutuskan naik kedaratan. Masyarakat Bunga Mayang sebagai pendatang, mencoba menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat Buway Lima Way Kanan dan Abung Siwo Migo yang telah lama menetap dan berkembang serta kedudukannya tak jauh dari Way Sungkay. Beberapa delegasi Bunga Mayang telah dikirimkan untuk menyampaikan berita tentang keberadaan mereka di Way Sungkay. Komunikasi dengan masyarakat Way Kanan terhitung mudah, karena sama-sama berasal dari Komering dan juga menggunakan bahasa yang sama. Sementara komunikasi dengan Abung Wiwo Migo yang diwakili Buway Nunyay juga sangat baik dan penuh kekeluargaan. Maka semenjak itulah masyarakat Bunga Mayang menetap di Way Sungkay. Bunga Mayang Sungkay, masyarakat Bunga Mayang yang menetap ditepi Way Sungkay.

Marga Bunga Mayang Sungkay

Untuk menerangkan kedudukan marga Bunga Mayang Sungkay, mempertegas batas wilayah dan serta mengumumkan sistem peradatannya yang tak lagi sebagai masyarakat pesisir (Saibatin) dan telah menjadi masyarakat pedalaman (Punyimbang). Masyarakat Bunga Mayang Sungkay dikemudian hari melaksanakan Begawi Balak (Pesta Adat Besar). DR. Bauke Jan Haga, yang ketika itu masih bertugas sebagai Asisten Residen Sumatra menuliskan laporan pada tahun 1925. Bahwa 150 tahun lalu (sekitar tahun 1775) sebuah marga baru di Way Sungkay mengadakan pesta sangat besar, hingga menyembelih 64 ekor kerbau dan dihadiri para pemuka dan petinggi masyarakat Way Kanan, Menggala dan Abung.

Sejarah Suku Sungkai

Pedalaman Lampung tak pernah dikuasai Banten dan Palembang

Meski didukung piagam dan prasasti, teori bahwa Lampung berada dibawah kekuasaan Palembang dan Banten tidak pernah terbukti bagi masyarakat Lampung pedalaman seperti Suku Sungkai. Saat Kesultanan Palembang berkonflik dengan Inggris dan Belanda sejak tahun 1811. Dan Kesultanan Banten dihapus Kolonial Inggris pada tahun 1813. Suku Sungkai tidak serta merta dikuasai Inggris dan Belanda. Suku Sungkai hanya perlahan mengalami penurunan pembelian hasil perkebunan. Hal ini membuktikan Palembang dan Banten hanyalah penguasa perdagangan dan bukan penguasa wilayah. Hasil ladang yang menumpuk tanpa pembeli, menyebabkan menurunnya tingkat keamanan. Perampokan dan penjarahan hasil kebun melanda masyarakat Lampung pedalaman. Terdesak oleh perkembangan keadaan, pada tahun 1817 tiga pemuka perwakilan adat masyarakat Lampung pedalaman memutuskan datang ke pusat pemerintahan Kolonial Belanda di Batavia antara lain:

  1. Buway Lima Way Kanan diwakili Mangkubumi Tuha dari Bahuga
  2. Bunga Mayang Sungkay diwakili Raja Balak Tuha dari Negeri Ujung Karang
  3. Abung Siwo Migo diwakili Pengiran Sempurna Jaya Tuha dari Terbanggi

Ketiganya meminta Kolonial Belanda untuk datang ke pedalaman Lampung. Pertama untuk membawa pasukan bersenjata untuk menumpas perampok dan penjarah yang telah menggangu keamanan dikemargaannya. Kedua untuk membeli hasil bumi yang telah ditinggalkan pembeli dari Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang. Peristiwa ini membuktikan bahwa Banten dan Palembang bukanlah penguasa wilayah, namun penguasa perdagangan di pedalaman Lampung. Dan masyarakat pedalaman Lampung hanya mengenal Belanda tak lebih dari 125 tahun.

Pemerintahan Marga

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak 1775 telah berdiri Marga Bunga Mayang Sungkay. Namun ketika itu Marga masih terpecah-pecah dalam kepemimpinan tiyuh dan buway. Sementara konflik akibat sengketa perbatasan dengan marga lain terjadi dimana-mana. Maka pada tahun 1818 para Kepala Kampung bersepakat untuk membuat satu teritorial Marga Bunga Mayang Sungkay yang dipimpin administratif oleh satu Kepala Marga. Keputusan tersebut kemudian diakui oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1820.

Pada tahun 1864, Kepala Marga sekaligus Pasirah Marga Bunga Mayang Sungkay, Batin Tihang Marga (Buway Inder Gajah, Negara Tulang Bawang) melaksanakan sensus penduduk. Marga Bunga Mayang Sungkay ketika itu terdiri atas 12 desa dengan jumlah penduduk 1291 orang.

  1. Pakuon Agung: 250 orang.
  2. Negeri Ujung Karang: 276 orang
  3. Bandar Agung: 39 orang
  4. Sukadana: 106 orang
  5. Negara Tulang Bawang: 179 orang
  6. Kepayungan: 23 orang
  7. Tanah Abang: 65 orang
  8. Negeri Batin: 40 orang
  9. Kota Napal: 92 orang
  10. Kota Negara: 101 orang
  11. Negara Ratu: 74 orang
  12. Batu Raja: 46 orang

Pemerintahan Distrik

Setelah terbentuknya pemerintahan keresidenan di Lampung, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan sistem adminitrasi terpusat. Pemerintahan Marga diganti menjadi Pemerintahan Distrik. Lampung dijadikan Afdeling yang dikepalai oleh seorang Residen. Dibawah Afdeling terbagi atas lima Onder Afdeling yang dikepalai Kontroleur. Yakni Teluk Betung, Kota Agung, Sukadana, Kotabumi dan Menggala. Untuk Bunga Mayang Sungkay dipilih Kepala Distrik / Demang Ratu Tunggal dengan Asisten Distrik/ Asisten Demang Pengiran Puting Merga. Jabatan Kepala Marga dan Pasirah sudah dihapuskan. Tetapi sistem distrik tidak bertahan lama, karena sistem sentralistik ditentang oleh masyarakat Lampung yang masih menjunjung tinggi keberadaan Saibatin dan Punyimbang.

Pada 1927 pemerintahan Kolonial Belanda kembali melaksanakan sensus penduduk. Marga Bunga Mayang Sungkay terdiri atas 16 desa dengan jumlah penduduk 9.440 orang.

  1. Pakuon Agung: 1077 orang
  2. Banjar Negeri: 527 orang
  3. Bandar Agung: 137 orang
  4. Negeri Ujung Karang: 522 orang
  5. Handuyang Ratu: 347 orang
  6. Sukadana Ilir: 343 orang
  7. Sukadana Udik: 597 orang
  8. Negara Tulang Bawang: 1615 orang
  9. Tanah Abang: 815 orang
  10. Kota Napal: 984 orang
  11. Kotanegara: 600 orang
  12. Negarabatin: 391 orang
  13. Baturaja: 431 orang
  14. Negararatu: 532 orang
  15. Ketapang: 225 orang
  16. Cempaka: 300 orang

Kembali Pada Pemerintahan Marga

Pesirah Merga Radja Jang Toean

Untuk menghindari perluasan konflik akibat penolakan sistem distrik yang akan mengakibatkan kerugian kolonialisme, maka pada tahun 1928 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengembalikan kepemimpinan Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh seorang Pesirah. Marga Bunga Mayang Sungkay selanjutnya dipimpin oleh tiga orang Pesirah dengan kurun waktu 1928-1957. Pesirah Marga Bunga Mayang Sungkay antara lain:

  1. Radja Jang Toean, Buway Inder Gajah - Negara Tulang Bawang, 1928-1943
  2. Sjamsoeddin gelar Toean Radja Djonjom, Buway Liwa - Kota Napal, 1943-1950
  3. Abdul Rachim gelar Selinggang Alam, 1950-1957

Pemerintahan Negeri

Pada masa kemerdekaan Pemerintahan Marga kemudian diganti menjadi Pemerintahan Negeri Bunga Mayang Sungkay. Pemerintahan Negeri dipimpin oleh satu orang Kepala Negeri. Bunga Mayang Sungkay dipimpin oleh dua orang Kepala Negeri dengan kurun waktu 1957-1973. Kepala Negeri Bunga Mayang Sungkay antara lain:

  1. Achmad Djajuli gelar Ratu Anom Sekandar Alam III, Buway Inder Gajah – Negara Tulang Bawang, 1957-1961
  2. Muchtar Hasan, 1962-1973

Setelah itu pemerintahan negeri kemudian dihapuskan dan dijadikan pemerintahan kecamatan hingga dengan saat sekarang ini.

Kebuwayan dan Kebumian Suku Sungkai

Dalam Musyawarah Masyarakat Adat Bunga Mayang Sungkai dipenghujung milenium, diketemukan bahwa Masyarakat Bunga Mayang Sungkay terdiri atas banyak kebuwayan. Namun yang memiliki Kebumian (Tiyuh Adat) hanya berjumlah tujuh kebuwayan antara lain:

  • Buway Inder Gajah
  • Buway Sereja
  • Buway Harayap
  • Buway Selembasi
  • Buway Liwa
  • Buway Semenguk
  • Buway Debintang

Dari ketujuh Kebumian ditemukan tiga diantaranya berusia sangat tua dan dibangun sekitar abad ke -17. Seratus tahun dari sebelum berdirinya Marga Bunga Mayang Sungkay. Antara lain:

  • Kebumian Hulu Way Sungkay, yang kemudian berganti nama menjadi Negara Ratu. Kebumian dari Buway Harayap.
  • Kebumian Menganti, yang kemudian berganti nama menjadi Negara Tulang Bawang. Kebumian dari Buway Inder Gajah.
  • Kebumian Negeri Ujung Kawis, yang kemudian berganti nama menjadi Negeri Ujung Karang. Kebumian dari Buway Sereja.

Berdasarkan usia Tiyuh Adat tertua tersebut disimpulkan bahwa ketibaan masyarakat Bunga Mayang di Way Sungkay terjadi sekitar abad ke-17.

Tokoh Masyarakat Suku Sungkai

Bahtiar Basri, Wakil Gubernur Provinsi Lampung

Fath Syahbudin, Budayawan, Musisi Tradisional

Hairy Fasyah, Bupati Lampung Utara

Herman Sanusi, Bupati Lampung Tengah

Kamaroeddin, Aktifis Pergerakan Kemerdekaan, Politisi Partai Nasional Indonesia

Santori Hasan, Bupati Tulang Bawang

Tamanuri, Bupati Way Kanan, Politisi Partai Nasional Demokrat

Referensi

Kumpulan Pisa'an Lampung Bunga Mayang Sungkai, Drs. H. Edy HUmaidy, Msc, Bandar Lampung 2004

Sejarah Marga Bunga Mayang, Kebuayan Indor Gajah, Negara Tulang Bawang, 2001

Panduan Masyarakat Bunga Mayang Sungkai, Genom Ragom Marga Bunga Mayang Sungkai, 2001